Oleh: By Rohimat/Joker
Ketua Umum LSM Pemuda Mandiri Peduli Rakyat Indonesia (PMPRI)
SAMBAS MEDIA, – Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang secara resmi melarang penggunaan incinerator sebagai salah satu opsi pengelolaan sampah patut dikritisi secara mendalam. Di satu sisi, alasan pelarangan karena faktor risiko pencemaran udara dan kesehatan masyarakat tentu tidak bisa diabaikan. Namun di sisi lain, absennya solusi alternatif yang efektif justru berpotensi memicu krisis baru: darurat sampah di berbagai daerah, termasuk Kota Bandung.
Kebijakan Tanpa Kejelasan Arah
Kota Bandung misalnya, sempat menjajaki pembelian incinerator sebagai opsi penanganan sampah. Namun rencana itu batal seiring keputusan pelarangan dari KLH. Masalahnya, pembatalan tersebut tidak dibarengi dengan rekomendasi teknologi alternatif yang benar-benar feasible. Selama ini, metode konservatif seperti sistem angkut-buang ke TPA dan pengolahan manual terbukti tidak efektif dalam menekan timbunan sampah. Produksi sampah harian Kota Bandung mencapai ribuan ton, sementara kapasitas pengolahan dan lahan TPA semakin terbatas.
Rohimat/Joker, Ketua Umum LSM Pemuda Mandiri Peduli Rakyat Indonesia (PMPRI)
Artinya, kebijakan “melarang” tanpa menawarkan jalan keluar yang jelas hanya akan meninggalkan beban bagi pemerintah daerah. Sampah tetap menumpuk, TPS makin penuh, TPA makin sesak, dan pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban melalui bau, pencemaran, hingga potensi bencana lingkungan.
Incinerator: Masalah atau Solusi yang Belum Disempurnakan?
Memang benar, incinerator tanpa standar teknologi dan pengendalian emisi yang memadai dapat menimbulkan masalah baru, mulai dari polusi udara hingga risiko kesehatan. Namun, alih-alih melarang total, seharusnya KLH membuka ruang bagi pengembangan incinerator modern berbasis best practice internasional yang lebih ramah lingkungan.
Di banyak negara, incinerator bukan hanya berfungsi mengurangi volume sampah secara signifikan, tetapi juga menghasilkan energi listrik (waste to energy). Teknologi ini terbukti mampu menekan ketergantungan pada TPA, sekaligus memberikan manfaat ekonomi tambahan.